Saturday, December 5, 2015

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI FATIMIYYAH

PENDAHULUAN

DinastiFatimiyyah adalah sebuah dinasti besar yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban Islam. Dinasti ini memiliki kemampuan yang sangat tangguh baik itu di bidang politik, di bidang ekonomi dan di bidang ilmu pengetahuan. Di dalam mempertahankan penguasaannya sendiri dinasti Fatimiyyah mampu bertahan hingga lebih dua setengah abad (297-567 H/909-1171 M).
Di dalam bidang politik pada masa dinasti Fatimiyyah, para khalifah berusaha memperluas wilayah kekuasaannya. Masa pemerintahan al-Aziz adalah masa kejayaan Fatimiyyah dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang dari negara-negara Arab di Timur sampai ke pantai Lautan Atlantik di sebelah barat, dan dari Asia Kecil di sebelah utara sampai ke an-Naubah di sebelah selatan.
Di bidang ekonomi pada masa dinasti Fatimiyyah ini perekonomian maju dan berkembang pesat. Para khalifah dan pejabat negara, baik pusat dan negara, hidup dalam kemewahan dan kekayaaan yang melimpah ruah. Kehidupan masyarakatnya pun makmur dan sejahtera.
Di bidang ilmu pengatahuannya pun dinasti Fatimiyyah memperoleh kemajuan yang besar yaitu berkembangnya berbagai cabang ilmu yang melahirkan para ulama dan ilmuwan, sehingga pada saat itu Kairo tumbuh menjadi kota intelektual dan ilmu pengetahuan. Salah satu pembangunan yang dibangun oleh dinasti ini adalah Universitas Al-Azhar.

PEMBAHASAN

A. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyyah

Di dalam perjalanan sejarahnya, dinasti Fatimiyyah mengalami dua masa perkembangan. Pertama, periode magrib dengan pusat pemerintahannya di al-Magrib al-Adna (Tunisia sekarang). Kedua, periode Masyriq dengan pusat pemerintahannya di Mesir.
1. Politik dinasti FatimiyyahJumlah khalifah yang memerintah selama kurun waktu sekitar 65 tahun pada periode ini seluruhnya empat orang, yaitu Ubaidullah al-Mahdi (297-322 H/909-934 M), Abu al-Qasim Muhammad (Nizar) bin Ubaidullah al-Mahdi dengan gelar dullah al-Mahdi dengan gelar al-Qa’im bi Amrillah (322-334H/934-945 M), Abu Tahir Ismail bin Muhammad dengan gelar al-Mansur bi Nasrillah (334-341 H/945-952 M), dan Abu Tamim Ma’ad bin Ismail dengan gelar al-Mu’izz li Dininillah (341-362 H/952-973 M). Keempat khalifah inilah yang telah memindahkan ibu kota kerajaan Fatimiyyah dari al-Magrib al-Adna ke Kairo, Mesir, pada bulan Ramadhan 362 H (973 M).
Pada Saat proklamasi Fatimiyyah dan pembantaian Ubaidullah al-Mahdi sebagai khalifah, tiga dinasti lokal yang berada di wilayah Magrib sudah berada di bawah kekuasaannya. Dinasti-dinasti yang dimaksud ialah al-Agalibah (Banu Aglab), al-Midrariyyah (Banu Midrar) dan Rustamiyyah (Banu Rustam). Dengan begitu ketika Fatimiyyah berdiri, kerajaan ini sudah memiliki daerah kekuasaan yang luas, meliputi bekas wilayah ketiga dinasti tersebut, memanjang dari Tripoli di sebelah Timur sampai ke Sjilmasah di sebelah Barat, termasuk Sisilia di sebelah Utara dan beberapa pulau serta daerah lain di sekitarnya yang semula berada di bawah kekuasaan al-Agalibah. Ini semua adalah hasil usaha dan jerih payah Abu Abdillah asy-Syi’i yang berjuang selama bertahun-tahun untuk menaklukan dinasti-dinasti tersebut. Bahkan setelah Ubaidullah memangku jabatan khalifah pun, Abu Abdillah masih tetap aktif melakukan ekspansi memperluas wilayah Fatimiyyah.
Tidak lama setelah kerajaan Fatimiyyah berdiri, masih di tahun 297 H (910 M) Ubaidullah mengirim pasukan kebeberapa daerah di al-Magrib al-Ausat dan al-Magrib al-Aqsa yang belum tunduk kepada Fatimiyyah. Pasukan ini dipimpin oleh Abu Abdillah dan berhasil menguasai beberapa daerah di kedua wilayah tersebut. Pada tahun berikutnya 298 H (911 M), Abu Abdillah kembali memimpin Pasukan menyerang suku Zanatah di Selatan daerah Kutamah. Ekspedesi ini pun berhasil baik. Akhirnya suku Zanatah menyatakan tunduk kepada Fatimiyyah. Tidak lama setelah itu Abu Abdillah asy-Syi’I dan saudaranya, Abu al-Abbas Ahmad, serta salah seorang tokoh Kutamah, Abu Zaki Tamam bin Ma’arik al-Ikjani, pendukung setia Abu Abdillah wafat pada hari senin, pertengahan Jumada al-Akhirah, 298 H (911 M) karena dibunuh oleh Ubaidillah.
Keyakinan Abu Abdillah bahwa Ubaidullah adalah al-Mahdi didasarkan kepada informasi yang diterimanya bahwa menjelang wafat, Muhammad al-Habib bin Jafar ban Muhammad bin Ismail al-Imam menunjuk anaknya, Ubaidullah sebagai penggantinya. Selama pemerintahan Ubaidullah berlangsung, Abu Ubaidullah dan masyarakat Magrib masih meragukan Ubaidullah sebagai al-Mahdi. Keraguan itu, membuatnya marah sehingga ia membunuh orang yang meragukannya itu. Termasuk membunuh para tokoh-tokoh penting seperti Syaikh al-Masyayikh (tokoh Kutamah), Abu Zaki, Abu Abdillah, dan Abu al-Abbas.
Pembunuhan tokoh-tokoh tersebut menimbulkan kemarahan dari pengikutnya. Banyak kerusuhan pada saat itu, tetapi Ubaidullah mampu mengatasinya. Tidak lama setelah pembunuhan Abu Abdillah, Ubaidullah mempersiapkan kader penerus yang di bangunnya, maka ia mengangkat anaknya Abu al-Qasim Muhammad (Nizar), sebagai putera mahkota. Ia juga mengangkat pendukung setianya, Husabah bin Yusuf sebagai gubernur di al-Magrib al-Adna dan Urubah bin Yusuf sebagai gubernur di al-Magrib al-Ausat dan al-Magrib al-Aqsa.
Meskipun dilanda berbagai kerusuhan dan pemberontakan, Ubaidullah tetap memperluas wilayah kekuasaannya. Salah satu daerah yang ingin direbutnya adalah Mesir karena letaknya yang strategis dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Selama masa pemerintahannya, ia menyerang Mesir sebanyak tiga kali, tetapi gagal.Selama pemerintahan Ubaidullah, ia sempat membangun sebuah kota yang baru dan memindahkan ibu kota Fatimiyyah ke kota tersebut. Kota ini diberi nama al-Mahdiyyah, sesuai gelarnya, al-Mahdi. Pembangunan ini memakan waktu sekitar dua tahun (303-305 H/915-917 M). Selanjutnya, tiga tahun kemudian, pada bulan Syawwal 308 H (921 M), Ubaidullah memindahkan ibu kota Fatimiyyah dari Raqqadah ke kota yang baru ini.
Ubaidullah wafat pada hari senin, 14 Rabi al-Awwal 322 H (934 M) al-Mahdiyyah. Kedudukannya digantikan oleh putera mahkotanya, Abu al-Qasim Muhammad (Nizar) dengan gelar al-Qaim bi Amrillah yang memerintah sampai 13 Syawwal 334 H (945 M). Sebagaimana ayahnya, al-Qaim juga menghadapi banyak pemberontakan. Yang terbesar, terdasyat, dan terberat adalah pemberontakan Abu Yazid Makhlad bin Kaidad. Abu Yazid adalah tokoh khawarij sekte al-Ibadiyyah. Ia mengobarkan perlawanan bersenjata terhadap Fatimiyyah. Gerakannya menggucang Magrib dan hampir menghancurkan dinasti ini. Ia mulai menghimpun kekuatan pada tahun 316 H (928 M) dan puncak pemberontakannya terjadi pada tahun 333H (944 M) sampai dengan 336 H (947 M). Pemberontakan ini tidak hanya memakan waktu yang lama, tetapi juga mengancam eksistensi Fatimiyyah. Beberapa daerah di Magrib yang semula dikusai Fatimiyyah dapat direbut Abu Yazid, termasuk Qairawan dan Raqqadah. Bahkan, ibu kota Fatimiyyah, al-Mahdiyyah, sempat dikepung dalam waktu yang cukup lama dan penduduknya merasakan penderitaan yang cukup parah. Al-Qaim sendiri wafat di saat kepungan itu masih berlangsung.
Pemberontakan tersebut baru dapat dipadamkan pada masa pemerintahan khalifah Fatimiyyah ketiga, al-Mansyur, (334-341 H/945-952 M). Pada bulan Ramadan 336 H (947 M) Abu Yazid dapat ditangkap dan pada akhir bulan itu juga ia meninggal dunia karena luka-luka yang dideritanya setelah terjadi pertempuran dasyat antara pasukannya dan pasukan al-Mansur. Pemberontakan lain yang cukup berat dihadapi oleh al-Qaim adalah pemberontakan Ibn Talut al-Qurasyi di pinggiran Tripoli. Ibn Talut mengaku sebagai putera al-Mahdi dan sempat memperoleh banyak pendukung. Ia mengepung Tripoli dan berusaha merebutnya, tetapi dikalahkan oleh tentara yang dikirim oleh al-Qaim. Ibn Talut sendiri dibunuh oleh orang-orang Berber yang mengetahui bahwa pengakuannya sebagai anak al-Mahdi tidak benar. Pada akhir tahun 323 H (936 M), al-Qaim mengirim pasukan ke Mesir untuk menaklukan daerah tersebut. Pasukan itu dipimpin oleh salah seorang khadamnya, Zaidan, dan berhasil memasuki Iskandariyah pada bulan Rabi al-Akhir 324 H (936 M). banyak tokoh masyarakat dan pemuka Mesir yang menggabungkan diri dengan pasukan ini, namun keberhasilan tersebut tidak berlangsung lama. Muhammad al-Ikhsyid, penguasa dinasti Iksyidiyyah mengirim satuan tempur dalam jumlah yang besar dan berhasil memporakporandakan pasukan al-Qaim. Banyak diantara mereka yang terbunuh dan tertawan, sementara yang selamat kambali ke Magrib. Meskipun gagal mengusai Mesir, selama masa pemerintahannya, al-Qaim dapat memperluas wilayah kekuasaan Fatimiyyah ke daratan Eropa. Armada yang dikirimnya berhasil mengusai pantai selatan Perancis, pantai Genoa, dan Calabria. Ia juga dapat menaklukan kaum Khawarij dan mengusai Fez.
Al-Qaim wafat pada tanggal 13 Syawwal 334 H (954 M) di al-Mahdiyyah. Kedudukannya digantikan oleh puteranya, Abu Tahir Ismail dengan gelar al-Mansur bi Nasrillah. Ketika ayahnya meninggal dunia, al-Mansyur merahasiakan kewafatan itu karena khawatir diketahui oleh Abu Yazid yang sedang mengepung al-Mahdiyyah. Ia baru mengumumkan kematian tersebut setelah berhasil menumpas gerakan Abu Yazid di tahun 336 H (948 M). Al-Mansur membenahi negerinya yang porak poranda akibat gelombang besar pemberontakan Abu Yazid. Selanjutnya ia memperkuat angkatan bersenjatanya dengan membangun sebuah armada laut yang besar. Ia juga membangun sebuah kota yang baru persis di tempat peristiwa peperangan dengan Abu Yazid yang membawa kemenangan. Kota itu diberi nama al-Mansuriyyah, dinisbatkan kepada gelarnya al-Mansur terletak setengah mil dari Qairawan. Ia memindahkan ibu kota Fatimiyyah dari al-Mahdiyyah ke kota ini pada tahun 337 H (948 M). Al-Mansuriyyah tetap menjadi ibu kota Fatimiyyah sampai al-Muizz, puteranya, memindahkan pusat ke Kairo, Mesir, Ramadan 362 H (973 M).
Sebagaimana al-Mahdiyyah, al-Mansuriyyah juga dikelilingi oleh tembok tebal. Kota ini memiliki lima buah pintu, yaitu al-Qubla, asy-Syarqi, Zuwailah, Kutamah, dan al-Futuh. Pintu yang terkhir ini kusus dipergunakan untuk mobilitas pasukan Fatimiyyah. Untuk meramaikan kota yang baru dibangunnya, al-Mansur memindahkan pasar-pasr dan tempat-tempat pengolahan produksi kerajinan yang ada di Qairawan ke al-Mansuriyyah sehingga kota ini menjadi sebuah kota dagang dan kerajinan. Ia juga membangun istana untuk tempat tinggal khalifah dan keluarganya. Ketika pemerintahan dipegang oleh al-Muizz, ia membangun lagi sebuah istana yang indah dan megah di sebuah tanah lapang yang luas. Istana itu diberi nama Qash al-Bahr. Di tengah-tengah tanah lapang tersebut dibikin sabuah danau besar dan di tengah danau itu didirikan lagi sebuah istana. Untuk menghubungkan kedua istana ini, al-Muizz membangun beberapa buah jembatan.
Selama masa pemerintahan Ubaidullah, al-Qaim, dan al-Mansur sampai pada saat al-mansur wafat, Jumat, 29 Syawwal 341 H (952 M) belum seluruh wilayah Magrib dapat dikuasai oleh Fatimiyyah, terutama di bagian barat. Di samping itu, pemberontakan demi pemberontakan sering terjadi. Akibatnya beberapa daerah yang semula sudah ditaklukkan ada yang terlepas kembali. Baru pada zaman pemerintahan Abu Tamim Ma’ad bin al-Mansur yang bergelar al-Muizz li Dinillah (341-365 H/952-975 M) daerah-daerah tersebut dapat dikuasai.
Al-muizz mengirim pasukan besar yang dipimpin oleh Jauhar as-Saqili dan Ziri bin Manad, pemimpin Berber suku Sanhajah, ke al-Magrib al-Aqsa untuk menaklukan beberapa daerah yang belum tunduk kepada Fatimiyyah dan merebut kembali wilayah-wilayah yang terlepas dari dinasti ini, seperti Fez dan sijilmasah. Ekspedisi ini berhasil. Seluruh wilayah Magrib sampai ke pantai Lautan Atlantik dapat ditaklukan, kecuali Sibtah (Ceuta) yang dikuasai oleh dinasti Umawiyyah di Andalus. Pada masa pemerintahan al-Muizz inilah dinasti Fatimiyyah betul-betul berhasil mendominasi kekuasaan atas Magrib dan menikmati masa-masa kejayaannya di wilayah tersebut. Pada zaman pemerintahannya pula, Mesir, yang didambakan oleh para pendahulunya untuk dikuasai, dapat ditaklukan dan dijadikan pusat perintahan dinasti ini.

Periode Masyriq (362-567 H/973-1171 M)

Dinasti Fatimiyyah berhasil menaklukan Mesir pada tahun 358 H (969 M). Pada tanggal 14 Jumada al-Akhirah 358 H (969 M), al-Muizz mengirim pasukan besar ke Mesir yang dipimpin oleh Jauhar as-Siqili dan dengan mudah pasukan Jauhar dapat menguasai Iskandiriyyah dan memasuki Mesir (7 Sya’ban 358H/ 969 M). Di Mesir Pasukan Jauhar berhadapan dengan tentara-tentara Ikhsyidiyyah dan berhasil menumpasnya. Keberhasilan ekspedesi ini merupakan suatu prestasi besar bagi Jauhar karena beberapa kali ekspedisi Fatimiyyah ke Mesir sebelumnya selalu mengalami kegagalan. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Dinasti Abbasiyah berada dalam keadaan lemah karena menghadapi berbagai persoalan di luar dan di dalam negeri. Kedua,ketika Jauhar  menyerang, Mesir dalam keadaan kacau setelah Amirnya Kafur al- Ikhsyidi meninggal dunia (357H/968 M), dan bencana kelaparan yang melanda seluruh wilayah, adanya huru-hara yang terjadi di mana-mana, serta juga dikarenakan sekitar 600. 000 orang yang meninggal dunia. Ketiga, dukungan penduduk Mesir terhadap Fatimiyyah sudah semakin banyak, terutama dukungan dari kaum Syi’ah yang berada di daerah tersebut. Keempat, Ya’qub bin Killis, wazir dinasti Ikhsyidiyyah yang tersingkir, membelot dan berpihak kepada Fatimiyyah. Di samping faktor-faktor di atas, faktor lain yang penting dan sangat menentukan adalah kekuatan militer dari pasukan Fatimiyyah sendiri.
Setelah Mesir di kuasai selama empat tahun, barulah Muizz datang ke Mesir, tepatnya 973 dengan terlebih dahulu memasuki Iskandariyyah. Di Iskandariyyah, Muizz disambut dengan upacara besar oleh penduduk setempat.
Setelah menaklukan mesir, al-Muizz tidak hanya untuk meguasai atau menjadikan bagian dari wilayah Fatimiyyah, tetapi juga direncanakan untuk menjadikannya sebagai pusat pemerintahan. Hal ini terlihat pada saat Jauhar bersama pasukannya berangkat ke Mesir, al-Muizz sudah menyiapkan sebuah rancangan pembangunan kota baru di wilayah Mesir untuk ibu kota pemerintahannya. Tidak lama setelah berada di Mesir pada tanggal 17 sya’ban 358 H (969 M) Jauhar mulai membangun sebuah kota dan istana untuk al-Muizz. Kota tersebut di beri nama al-mansuriyyah, nama yang sama dengan ibu kota fatimiyyah di Magrib. Nama ini diberikan oleh Jauhar untuk mengenang orang tua al-Muizz al-Mansur. Namun, setelah al-Muizz tiba di Mesir pada tahun 362 H (973 M), nama itu di ubah menjadi al-Qarinah (Kairo) yang terkenal hingga sekarang.
Pada saat al-Muizz  baru berangkat menuju Mesir meninggalkan kota, istana, dan mesjid yang dibangun jauhar selesai dan penaklukkan terhadap Syam, Hejaz, dan Palestina dapat dirampungkan. Al-Muizz meninggalkan kota Magrib tidak untuk sementara waktu, tetapi benar-benar untuk memindahkan ibu kota Fatimiyyah dari al-Mansuriyyah di Magrib ke al-Mansuriyyah di Mesir. Selanjutnya, rombongan yang menyertainya sangat besar. Tidak hanya membawa seluruh anggota keluarganya , para pejabat kerajaan, para pembantu serta pengikut setianya, dan harta kekayaan Fatimiyyah, tetapi juga al-Muizz membawa tiga peti mayat yang berisi kerangka jenazah tiga orang khalifah terdahulunya: Ubaidullah al-Mahdi, al-Qa’im bi Amrillah, dan al-Mansyur billah. Pada saat itulah al-Muizz menyatakan bahwa Mesir sebagai benteng kekuatan kerajaan.
Tidak lama al-Muizz menjabat sebagai khalifah di Kairo. Pada malam sabtu, 16 Rabi al-Akhir 365 H (975 M) ia meninggal dunia karena sakit. Kedudukannya digantikan oleh puteranya bernama, Abu al-Mansur Nizar, dengan gelar al-Aziz billah. Setelah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan dinasti Fatimiyyah. Hakim memerintah selama selama 25 tahun. Jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah. Yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bernama Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam ilmu. Lahir sarjana-sarjana dalam bermacam-macam ilmu, diantaranya yang terkanal adalah ibn haitsam yang di Barat disebut dengan Alhaze. Bukunya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu cahaya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Masa Gerard of Cremona dan disiarkan tahun 1572.

2. Perekonomian dinasti Fatimiyyah

a. Sumber-Sumber Pendapatan NegaraPendapatan negara diperoleh dinasti Fatimiyyah dari dua sumber: pertama, hasil pajak yang sangat besar sebagai wujud dari keberhasilan pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Kedua, hasil nonpajak yang merupakan usaha dari dinasti Fatimiyyah sendiri.Sumber-sumber pendapatan negara pada zaman Fatimiyyah yang berasal dari pajak antara lain adalah sebagai berikut:a) al-kharaj (pajak atas tanah pertanian)b) al-iqta (pajak atas tanah produktif yang diberikan kepada orang-orang tertentu, terutama kepada angkatan bersenjata)c) al-Jizyah (pajak yang dipungut dari ahl az-zimmah)d) zakate) al-Mukus (pajak atas barang perniagaan, baik impor maupun ekspor)f) al-ahbas (harta benda yang diwakafkan oleh anggota masyarakat dan berada di dalam pengelolaan pemerintah)g) al-mawaris al-hasyriyyah (harta benda orang yang wafat tanpa meninggalkan ahli waris)h) al-amwal al-masadirah (harta benda orang-orang yang dijatuhi hukuman denda)
Dari semua sumber tersebut yang terpenting adalah al-kharaj yaitu pajak yang dipungut dari hasil bumi sesuai dengan luas tanah yang dikelola oleh para petani dan penggarap lahan pertanian tersebut. Adapun bentuk pemungutan pajak itu bisa berupa uang, bisa juga berbentuk produk yang dihasilkan dari tanah tersebut. Besar al-Kharaj yang dipungut tidak selalu sama di dalam setiap periode, akan tetapi tergantung kepada kebijaksanaan penguasa pada saat itu.
Sumber pendapatan negara nonpajak yang diusahakan oleh dinasti Fatimiyyah adalah hasil persewaan hotel-hotel dan toko-toko milik dinasti ini, hasil perdagangan, industri, dan sektor-sektor perekonomian lainnya yang dimiliki oleh kerajaan.
b. Sektor-Sektor Ekonomi Yang Dibangun1. Sektor Pertanian dan PerkebunanDi dalam pembangunan bidang ekonomi, sektor-sektor terpenting yang mendapat perhatian dinasti Fatimiyyah adalah pertanian, perkebunan, kerajinan, dan perdagangan. Dari keempat sektor tersebut, sektor pertanian mendapat perhatian yang lebih besar dan pembinaan yang lebih serius karena sektor ini merupakan tulang punggung perekonomian Mesir. Pertanian di Mesir ini sangat bergantung kepada keadaan air Sungai Nil. Apabila debit air sungai kurang maka lahan pertanian akan kekeringan dan jika lebih maka lahan tersebut akan kebanjiran. Maka dari itu, penguasa Fatimiyyah melakukan pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan  debit Sungai Nil ini. Disamping itu juga meningkatkan pengawasan dan pemeliharaan waduk-waduk, tanggul-tanggul, dan saluran air yang sudah ada.
Dengan usaha tersebut sektor ini menghasilkan beberapa produk pertanian seperti gandum, kacang ful, kacang kedelai, adas, bawang putih, bawang merah, jintan, lobak, semangka, tebu, umbi-umbian, terung, dan kapas. Selain keberhasilan di sektor pertanian, sektor perkebunan juga menghasilkan berbagai jenis bua-buahan, di antaranya ialah anggur, tin, apel, pisang, dan korma. Keberhasilan tersebut juga mendukung peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
2. Sektor KerajinanPembinaan dan pengembangan sektor kerajinan dilakukan oleh dinasti Fatimiyyah dengan mendirikan tempat-tempat pengolahan barang kerajinan dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan produksi kerajinan mereka. Barang yang dihasilkan dari sektor ini ialah kain tenunan, kaca, kristal, tembikar, kapal, kertas, gula, minyak goreng, dan sabun.
3. Sektor PerdaganganSelama masa pemerintahan Fatimiyyah, sektor perdagangan berkembang baik. Dua kota penting yang menjadi pusat perdagangan adalah Fustath dan Iskandariah. Yang terbesar diantara keduanya ialah Fustath. Kota ini menjadi kota dagang dan kerajinan terbesar bukan saja karena merupakan kota tua yang sebelumnya menjadi ibu kota Mesir, tetapi juga karena letaknya yang strategis yaitu di tepi Sungai Nil sehingga dapat dijangkau dengan mudah dari berbagai penjuru, baik lewat darat maupun sungai.
Sebagai sebuah kota dagang dan kerajinan, Fustath dikunjungi banyak orang yang datang dari dalam maupun luar negeri. Dengan banyaknya pengunjung yang datang ke Fustath, ditambah dengan penduduk asli setempat maka kota ini menjadi sangat ramai.
Jalur perdagangan terpenting dalam negeri adalah Sungai Nil karena transportasi sungai ketika itu lebih banyak digunakan masyarakat dibanding transportasi darat. Dermaga Fustath merupakan sebuah dermaga perdagangan yang amat penting. Berbagai jenis kapal yang datang dari berbagai penjuru berlabuh di dermaga tersebut.
Sekalipun jalur sungai banyak digunakan, bukan berarti jalur darat diabaikan. Pemerintah membangun dan memperbaiki jalan-jalan untuk menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan demikian, jalur perdagabgan lewat darat juga berjalan dengan lancar.
Perdagangan luar negeri juga mendapat perhatian besar dari dinasti Fatimiyyah. Hubungan dagang dengan berbagai negara dibina dengan baik, seperti India, Italia, negara-negara di bagian barat Laut Tengah, dan Bizatium. Pedagang-pedagang asing yang berniaga ke Mesir tidak hanya yang beragama Islam, tetapi banyak pula yang nonmuslim.

3. Ilmu Pengetahuan pada masa dinasti Fatimiyyah

Di samping kemajuan di bidang politik dan ekonomi, dinasti Fatimiyyah juga memperoleh kemajuan besar di bidang pembinaan dan pengembangan ilmu. Kemajuan tersebut dapat dilihat antara lain dari beberapa factor. Pertama, banyaknya ulama dan ilmuwan yang lahir dan populer di zaman tersebut. Kedua, banyaknya karya ilmiah yang dihasilkan. Ketiga, berkembangnya berbagai cabang ilmu dan Kairo tumbuh menjadi sebuah kota intelektual dan ilmu pengetahuan. Keempat tersedianya koleksi buku yang sangat banyak di perpustakaan. Kelima, perhatian besar beberapa khalifah Fatimiyyah terhadap pembinaan dan pengembangan ilmu.
Dengan banyaknya ulama dan ilmuwan yang lahir di masa pemerintahan Fatimiyyah maka berbagai cabang ilmu pun berkembang pesat. Halakah pengajian besar dimana-mana, baik di mesjid-mesjid maupun rumah-rumah. Pusat-pusat pengkajian dan pengembangan ilmu tersebar di berbaagai kota seperti di Kairo, Fustat, Iskandariyyah, Tinnis, Aswan dan Qus. Di antara kota-kota tersebut, Kairo merupakan kota yang paling ramai dengan berbagai kegiatan keilmuan sehingga kota yang didirikan oleh jauhar as-Saqili ini tidak hanya menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan Fatimiyyah, tetapi juga tumbuh menjadi pusat intelektual dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia Islam. Di dalam perkembangan selanjutnya Kairo menjadi salah satu pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang besar di samping Bagdad, Damaskus, dan Kordova.

PENUTUP

Kesimpulan

Di bidang politik, dinasti Fatimiyyah berhasil dalam beberapa hal di antaranya: pertama, memperluas wilayah kekuasaan sehingga, di puncak kejayaannya, wilayah kekuasaan dinasti sangat luas, meliputi tiga benua: sebagian Afrika, sebagian Asia, dan sebagian Eropa. Kedua, menguasai Mesir dan memindahkan pusat pemerintahan dari al-Magrib al-Adna (Tunisia) ke Mesir (362 H/973 M). Ketiga, mempertahankan kekuasaan dalam kurun waktu yang sangat lama, lebih dari 250 tahun (297-567 H/909-1171 M).
Di bidang ekonomi dinasti Fatimiyyah berhasil membangun perekonomian yang kuat dan tangguh. Para penguasa dinasti ini cukup piawai memilih sektor sektor perekonomian yang menjadi prioritas pembangunan di negaranya. Sektor-sektor terpenting yang dibangun adalah pertanian, perkebunan, kerajinan, dan perdagangan. Dari keempat sektor tersebut, pertanian dijadikan sebagai prioritas utama. Strategi ini berhasil baik. Perekonomian dinasti Fatimiyyah berkembang pesat. Pada masa jayanya, pendapatan negara melimpah ruah dan rakyat hidup dalam makmur dan sejahtera.
Di bidang ilmu pengetahuan, dinasti Fatimiyyah berhasil membina dan mengembangkan ilmu sehingga Kairo tadak saja menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pengembangan ilmu. Universitas Al-Azhar yang dibangun dan dibina oleh dinasti ini menjadi universitas terkemuka dan menghasilkan banyak ulama dan ilmuwan terkenal. Ilmu-ilmu yang dikembangkan bukan hanya ilmu-ilmu naqliah, tetapi juga ilmu-ilmu aqliah sehingga kedua ilmu ini tumbuh subur secara bersamaan. Beberapa penguasa Fatimiyyah juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan dan pengembangan ilmu tersebut.

0 komentar:

Post a Comment