PENDAHULUAN
DinastiFatimiyyah adalah sebuah dinasti besar yang pernah tumbuh dan berkembang dalam
sejarah peradaban Islam. Dinasti ini memiliki kemampuan yang sangat tangguh
baik itu di bidang politik, di bidang ekonomi dan di bidang ilmu pengetahuan.
Di dalam mempertahankan penguasaannya sendiri dinasti Fatimiyyah mampu bertahan
hingga lebih dua setengah abad (297-567 H/909-1171 M).
Di
dalam bidang politik pada masa dinasti Fatimiyyah, para khalifah berusaha
memperluas wilayah kekuasaannya. Masa pemerintahan al-Aziz adalah masa kejayaan
Fatimiyyah dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, membentang dari
negara-negara Arab di Timur sampai ke pantai Lautan Atlantik di sebelah barat,
dan dari Asia Kecil di sebelah utara sampai ke an-Naubah di sebelah selatan.
Di
bidang ekonomi pada masa dinasti Fatimiyyah ini perekonomian maju dan
berkembang pesat. Para khalifah dan pejabat negara, baik pusat dan negara,
hidup dalam kemewahan dan kekayaaan yang melimpah ruah. Kehidupan masyarakatnya
pun makmur dan sejahtera.
Di
bidang ilmu pengatahuannya pun dinasti Fatimiyyah memperoleh kemajuan yang
besar yaitu berkembangnya berbagai cabang ilmu yang melahirkan para ulama dan
ilmuwan, sehingga pada saat itu Kairo tumbuh menjadi kota intelektual dan ilmu
pengetahuan. Salah satu pembangunan yang dibangun oleh dinasti ini adalah
Universitas Al-Azhar.
PEMBAHASAN
A. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Fatimiyyah
Di
dalam perjalanan sejarahnya, dinasti Fatimiyyah mengalami dua masa
perkembangan. Pertama, periode magrib dengan pusat pemerintahannya di al-Magrib
al-Adna (Tunisia sekarang). Kedua, periode Masyriq dengan pusat pemerintahannya
di Mesir.
1. Politik
dinasti FatimiyyahJumlah
khalifah yang memerintah selama kurun waktu sekitar 65 tahun pada periode ini
seluruhnya empat orang, yaitu Ubaidullah al-Mahdi (297-322 H/909-934 M), Abu
al-Qasim Muhammad (Nizar) bin Ubaidullah al-Mahdi dengan gelar dullah al-Mahdi
dengan gelar al-Qa’im bi Amrillah (322-334H/934-945 M), Abu Tahir Ismail bin
Muhammad dengan gelar al-Mansur bi Nasrillah (334-341 H/945-952 M), dan Abu
Tamim Ma’ad bin Ismail dengan gelar al-Mu’izz li Dininillah (341-362 H/952-973
M). Keempat khalifah inilah yang telah memindahkan ibu kota kerajaan Fatimiyyah
dari al-Magrib al-Adna ke Kairo, Mesir, pada bulan Ramadhan 362 H (973 M).
Pada
Saat proklamasi Fatimiyyah dan pembantaian Ubaidullah al-Mahdi sebagai
khalifah, tiga dinasti lokal yang berada di wilayah Magrib sudah berada di
bawah kekuasaannya. Dinasti-dinasti yang dimaksud ialah al-Agalibah (Banu
Aglab), al-Midrariyyah (Banu Midrar) dan Rustamiyyah (Banu Rustam). Dengan
begitu ketika Fatimiyyah berdiri, kerajaan ini sudah memiliki daerah kekuasaan
yang luas, meliputi bekas wilayah ketiga dinasti tersebut, memanjang dari
Tripoli di sebelah Timur sampai ke Sjilmasah di sebelah Barat, termasuk Sisilia
di sebelah Utara dan beberapa pulau serta daerah lain di sekitarnya yang semula
berada di bawah kekuasaan al-Agalibah. Ini semua adalah hasil usaha dan jerih
payah Abu Abdillah asy-Syi’i yang berjuang selama bertahun-tahun untuk
menaklukan dinasti-dinasti tersebut. Bahkan setelah Ubaidullah memangku jabatan
khalifah pun, Abu Abdillah masih tetap aktif melakukan ekspansi memperluas
wilayah Fatimiyyah.
Tidak
lama setelah kerajaan Fatimiyyah berdiri, masih di tahun 297 H (910 M)
Ubaidullah mengirim pasukan kebeberapa daerah di al-Magrib al-Ausat dan
al-Magrib al-Aqsa yang belum tunduk kepada Fatimiyyah. Pasukan ini dipimpin
oleh Abu Abdillah dan berhasil menguasai beberapa daerah di kedua wilayah
tersebut. Pada tahun berikutnya 298 H (911 M), Abu Abdillah kembali memimpin
Pasukan menyerang suku Zanatah di Selatan daerah Kutamah. Ekspedesi ini pun
berhasil baik. Akhirnya suku Zanatah menyatakan tunduk kepada Fatimiyyah. Tidak
lama setelah itu Abu Abdillah asy-Syi’I dan saudaranya, Abu al-Abbas Ahmad,
serta salah seorang tokoh Kutamah, Abu Zaki Tamam bin Ma’arik al-Ikjani,
pendukung setia Abu Abdillah wafat pada hari senin, pertengahan Jumada
al-Akhirah, 298 H (911 M) karena dibunuh oleh Ubaidillah.
Keyakinan
Abu Abdillah bahwa Ubaidullah adalah al-Mahdi didasarkan kepada informasi yang
diterimanya bahwa menjelang wafat, Muhammad al-Habib bin Jafar ban Muhammad bin
Ismail al-Imam menunjuk anaknya, Ubaidullah sebagai penggantinya. Selama
pemerintahan Ubaidullah berlangsung, Abu Ubaidullah dan masyarakat Magrib masih
meragukan Ubaidullah sebagai al-Mahdi. Keraguan itu, membuatnya marah sehingga
ia membunuh orang yang meragukannya itu. Termasuk membunuh para tokoh-tokoh
penting seperti Syaikh al-Masyayikh (tokoh Kutamah), Abu Zaki, Abu Abdillah, dan Abu al-Abbas.
Pembunuhan
tokoh-tokoh tersebut menimbulkan kemarahan dari pengikutnya. Banyak kerusuhan
pada saat itu, tetapi Ubaidullah mampu mengatasinya. Tidak lama setelah pembunuhan
Abu Abdillah, Ubaidullah mempersiapkan kader penerus yang di bangunnya, maka ia
mengangkat anaknya Abu al-Qasim Muhammad (Nizar), sebagai putera mahkota. Ia
juga mengangkat pendukung setianya, Husabah bin Yusuf sebagai gubernur di
al-Magrib al-Adna dan Urubah bin Yusuf sebagai gubernur di al-Magrib al-Ausat
dan al-Magrib al-Aqsa.
Meskipun
dilanda berbagai kerusuhan dan pemberontakan, Ubaidullah tetap memperluas
wilayah kekuasaannya. Salah satu daerah yang ingin direbutnya adalah Mesir
karena letaknya yang strategis dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Selama
masa pemerintahannya, ia menyerang Mesir sebanyak tiga kali, tetapi gagal.Selama
pemerintahan Ubaidullah, ia sempat membangun sebuah kota yang baru dan
memindahkan ibu kota Fatimiyyah ke kota tersebut. Kota ini diberi nama
al-Mahdiyyah, sesuai gelarnya, al-Mahdi. Pembangunan ini memakan waktu sekitar
dua tahun (303-305 H/915-917 M). Selanjutnya, tiga tahun kemudian, pada bulan
Syawwal 308 H (921 M), Ubaidullah memindahkan ibu kota Fatimiyyah dari Raqqadah
ke kota yang baru ini.
Ubaidullah
wafat pada hari senin, 14 Rabi al-Awwal 322 H (934 M) al-Mahdiyyah.
Kedudukannya digantikan oleh putera mahkotanya, Abu al-Qasim Muhammad (Nizar)
dengan gelar al-Qaim bi Amrillah yang memerintah sampai 13 Syawwal 334 H (945
M). Sebagaimana ayahnya, al-Qaim juga menghadapi banyak pemberontakan. Yang
terbesar, terdasyat, dan terberat adalah pemberontakan Abu Yazid Makhlad bin
Kaidad. Abu Yazid adalah tokoh khawarij sekte al-Ibadiyyah. Ia mengobarkan
perlawanan bersenjata terhadap Fatimiyyah. Gerakannya menggucang Magrib dan
hampir menghancurkan dinasti ini. Ia mulai menghimpun kekuatan pada tahun 316 H
(928 M) dan puncak pemberontakannya terjadi pada tahun 333H (944 M) sampai
dengan 336 H (947 M). Pemberontakan ini tidak hanya memakan waktu yang lama,
tetapi juga mengancam eksistensi Fatimiyyah. Beberapa daerah di Magrib yang
semula dikusai Fatimiyyah dapat direbut Abu Yazid, termasuk Qairawan dan
Raqqadah. Bahkan, ibu kota Fatimiyyah, al-Mahdiyyah, sempat dikepung dalam
waktu yang cukup lama dan penduduknya merasakan penderitaan yang cukup parah.
Al-Qaim sendiri wafat di saat kepungan itu masih berlangsung.
Pemberontakan
tersebut baru dapat dipadamkan pada masa pemerintahan khalifah Fatimiyyah
ketiga, al-Mansyur, (334-341 H/945-952 M). Pada bulan Ramadan 336 H (947 M) Abu Yazid dapat ditangkap dan pada
akhir bulan itu juga ia meninggal dunia karena luka-luka yang dideritanya setelah
terjadi pertempuran dasyat antara pasukannya dan pasukan al-Mansur.
Pemberontakan lain yang cukup berat dihadapi oleh al-Qaim adalah pemberontakan
Ibn Talut al-Qurasyi di pinggiran Tripoli. Ibn Talut mengaku sebagai putera
al-Mahdi dan sempat memperoleh banyak pendukung. Ia mengepung Tripoli dan
berusaha merebutnya, tetapi dikalahkan oleh tentara yang dikirim oleh al-Qaim.
Ibn Talut sendiri dibunuh oleh orang-orang Berber yang mengetahui bahwa
pengakuannya sebagai anak al-Mahdi tidak benar. Pada akhir tahun 323 H (936 M),
al-Qaim mengirim pasukan ke Mesir untuk menaklukan daerah tersebut. Pasukan itu
dipimpin oleh salah seorang khadamnya, Zaidan, dan berhasil memasuki
Iskandariyah pada bulan Rabi al-Akhir 324 H (936 M). banyak tokoh masyarakat
dan pemuka Mesir yang menggabungkan diri dengan pasukan ini, namun keberhasilan
tersebut tidak berlangsung lama. Muhammad al-Ikhsyid, penguasa dinasti
Iksyidiyyah mengirim satuan tempur dalam jumlah yang besar dan berhasil
memporakporandakan pasukan al-Qaim. Banyak diantara mereka yang terbunuh dan
tertawan, sementara yang selamat kambali ke Magrib. Meskipun gagal mengusai Mesir,
selama masa pemerintahannya, al-Qaim dapat memperluas wilayah kekuasaan
Fatimiyyah ke daratan Eropa. Armada yang dikirimnya berhasil mengusai pantai
selatan Perancis, pantai Genoa, dan Calabria. Ia juga dapat menaklukan kaum
Khawarij dan mengusai Fez.
Al-Qaim
wafat pada tanggal 13 Syawwal 334 H (954 M) di al-Mahdiyyah. Kedudukannya
digantikan oleh puteranya, Abu Tahir Ismail dengan gelar al-Mansur bi Nasrillah.
Ketika ayahnya meninggal dunia, al-Mansyur merahasiakan kewafatan itu karena
khawatir diketahui oleh Abu Yazid yang sedang mengepung al-Mahdiyyah. Ia baru
mengumumkan kematian tersebut setelah berhasil menumpas gerakan Abu Yazid di
tahun 336 H (948 M). Al-Mansur membenahi negerinya yang porak poranda akibat
gelombang besar pemberontakan Abu Yazid. Selanjutnya ia memperkuat angkatan
bersenjatanya dengan membangun sebuah armada laut yang besar. Ia juga membangun
sebuah kota yang baru persis di tempat peristiwa peperangan dengan Abu Yazid
yang membawa kemenangan. Kota itu diberi nama al-Mansuriyyah, dinisbatkan
kepada gelarnya al-Mansur terletak setengah mil dari Qairawan. Ia memindahkan
ibu kota Fatimiyyah dari al-Mahdiyyah ke kota ini pada tahun 337 H (948 M). Al-Mansuriyyah
tetap menjadi ibu kota Fatimiyyah sampai al-Muizz, puteranya, memindahkan pusat
ke Kairo, Mesir, Ramadan 362 H (973 M).
Sebagaimana
al-Mahdiyyah, al-Mansuriyyah juga dikelilingi oleh tembok tebal. Kota ini
memiliki lima buah pintu, yaitu al-Qubla, asy-Syarqi, Zuwailah, Kutamah, dan
al-Futuh. Pintu yang terkhir ini kusus dipergunakan untuk mobilitas pasukan
Fatimiyyah. Untuk meramaikan kota yang baru dibangunnya, al-Mansur memindahkan pasar-pasr
dan tempat-tempat pengolahan produksi kerajinan yang ada di Qairawan ke
al-Mansuriyyah sehingga kota ini menjadi sebuah kota dagang dan kerajinan. Ia
juga membangun istana untuk tempat tinggal khalifah dan keluarganya. Ketika
pemerintahan dipegang oleh al-Muizz, ia membangun lagi sebuah istana yang indah
dan megah di sebuah tanah lapang yang luas. Istana itu diberi nama Qash
al-Bahr. Di tengah-tengah tanah lapang tersebut dibikin sabuah danau besar dan
di tengah danau itu didirikan lagi sebuah istana. Untuk menghubungkan kedua
istana ini, al-Muizz membangun beberapa buah jembatan.
Selama
masa pemerintahan Ubaidullah, al-Qaim, dan al-Mansur sampai pada saat al-mansur
wafat, Jumat, 29 Syawwal 341 H (952 M) belum seluruh wilayah Magrib dapat
dikuasai oleh Fatimiyyah, terutama di bagian barat. Di samping itu,
pemberontakan demi pemberontakan sering terjadi. Akibatnya beberapa daerah yang
semula sudah ditaklukkan ada yang terlepas kembali. Baru pada zaman
pemerintahan Abu Tamim Ma’ad bin al-Mansur yang bergelar al-Muizz li Dinillah (341-365
H/952-975 M) daerah-daerah tersebut dapat dikuasai.
Al-muizz
mengirim pasukan besar yang dipimpin oleh Jauhar as-Saqili dan Ziri bin Manad,
pemimpin Berber suku Sanhajah, ke al-Magrib al-Aqsa untuk menaklukan beberapa
daerah yang belum tunduk kepada Fatimiyyah dan merebut kembali wilayah-wilayah
yang terlepas dari dinasti ini, seperti Fez dan sijilmasah. Ekspedisi ini
berhasil. Seluruh wilayah Magrib sampai ke pantai Lautan Atlantik dapat
ditaklukan, kecuali Sibtah (Ceuta) yang dikuasai oleh dinasti Umawiyyah di
Andalus. Pada masa pemerintahan al-Muizz
inilah dinasti Fatimiyyah betul-betul berhasil mendominasi kekuasaan atas
Magrib dan menikmati masa-masa kejayaannya di wilayah tersebut. Pada zaman
pemerintahannya pula, Mesir, yang didambakan oleh para pendahulunya untuk
dikuasai, dapat ditaklukan dan dijadikan pusat perintahan dinasti ini.
Periode
Masyriq (362-567 H/973-1171 M)
Dinasti
Fatimiyyah berhasil menaklukan Mesir pada tahun 358 H (969 M). Pada tanggal 14
Jumada al-Akhirah 358 H (969 M), al-Muizz mengirim pasukan besar ke Mesir yang
dipimpin oleh Jauhar as-Siqili dan dengan mudah pasukan Jauhar dapat menguasai
Iskandiriyyah dan memasuki Mesir (7 Sya’ban 358H/ 969 M). Di Mesir Pasukan
Jauhar berhadapan dengan tentara-tentara Ikhsyidiyyah dan berhasil menumpasnya.
Keberhasilan ekspedesi ini merupakan suatu prestasi besar bagi Jauhar karena
beberapa kali ekspedisi Fatimiyyah ke Mesir sebelumnya selalu mengalami
kegagalan. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
Dinasti Abbasiyah berada dalam keadaan lemah karena menghadapi berbagai persoalan
di luar dan di dalam negeri. Kedua,ketika Jauhar menyerang, Mesir dalam keadaan kacau setelah
Amirnya Kafur al- Ikhsyidi meninggal dunia (357H/968 M), dan bencana kelaparan
yang melanda seluruh wilayah, adanya huru-hara yang terjadi di mana-mana, serta
juga dikarenakan sekitar 600. 000 orang yang meninggal dunia. Ketiga, dukungan
penduduk Mesir terhadap Fatimiyyah sudah semakin banyak, terutama dukungan dari
kaum Syi’ah yang berada di daerah tersebut. Keempat, Ya’qub bin Killis, wazir
dinasti Ikhsyidiyyah yang tersingkir, membelot dan berpihak kepada Fatimiyyah.
Di samping faktor-faktor di atas, faktor lain yang penting dan sangat menentukan
adalah kekuatan militer dari pasukan Fatimiyyah sendiri.
Setelah
Mesir di kuasai selama empat tahun, barulah Muizz datang ke Mesir, tepatnya 973
dengan terlebih dahulu memasuki Iskandariyyah. Di Iskandariyyah, Muizz disambut
dengan upacara besar oleh penduduk setempat.
Setelah
menaklukan mesir, al-Muizz tidak hanya untuk meguasai atau menjadikan bagian
dari wilayah Fatimiyyah, tetapi juga direncanakan untuk menjadikannya sebagai
pusat pemerintahan. Hal ini terlihat pada saat Jauhar bersama pasukannya
berangkat ke Mesir, al-Muizz sudah menyiapkan sebuah rancangan pembangunan kota
baru di wilayah Mesir untuk ibu kota pemerintahannya. Tidak lama setelah berada
di Mesir pada tanggal 17 sya’ban 358 H (969 M) Jauhar mulai membangun sebuah
kota dan istana untuk al-Muizz. Kota tersebut di beri nama al-mansuriyyah, nama
yang sama dengan ibu kota fatimiyyah di Magrib. Nama ini diberikan oleh Jauhar
untuk mengenang orang tua al-Muizz al-Mansur. Namun, setelah al-Muizz tiba di
Mesir pada tahun 362 H (973 M), nama itu di ubah menjadi al-Qarinah (Kairo)
yang terkenal hingga sekarang.
Pada
saat al-Muizz baru berangkat menuju
Mesir meninggalkan kota, istana, dan mesjid yang dibangun jauhar selesai dan
penaklukkan terhadap Syam, Hejaz, dan Palestina dapat dirampungkan. Al-Muizz
meninggalkan kota Magrib tidak untuk sementara waktu, tetapi benar-benar untuk
memindahkan ibu kota Fatimiyyah dari al-Mansuriyyah di Magrib ke al-Mansuriyyah
di Mesir. Selanjutnya, rombongan yang menyertainya sangat besar. Tidak hanya
membawa seluruh anggota keluarganya , para pejabat kerajaan, para pembantu
serta pengikut setianya, dan harta kekayaan Fatimiyyah, tetapi juga al-Muizz
membawa tiga peti mayat yang berisi kerangka jenazah tiga orang khalifah
terdahulunya: Ubaidullah al-Mahdi, al-Qa’im bi Amrillah, dan al-Mansyur billah.
Pada saat itulah al-Muizz menyatakan bahwa Mesir sebagai benteng kekuatan
kerajaan.
Tidak
lama al-Muizz menjabat sebagai khalifah di Kairo. Pada malam sabtu, 16 Rabi al-Akhir
365 H (975 M) ia meninggal dunia karena sakit. Kedudukannya digantikan oleh
puteranya bernama, Abu al-Mansur Nizar, dengan gelar al-Aziz billah. Setelah
itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan dinasti Fatimiyyah.
Hakim memerintah selama selama 25 tahun. Jasanya yang besar adalah mendirikan
Darul Hikmah. Yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova
dan Baghdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bernama Dar al-Ulum yang diisi
dengan bermacam-macam ilmu. Lahir sarjana-sarjana dalam bermacam-macam ilmu,
diantaranya yang terkanal adalah ibn haitsam yang di Barat disebut dengan Alhaze.
Bukunya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu cahaya diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin di Masa Gerard of Cremona dan disiarkan tahun 1572.
2. Perekonomian dinasti Fatimiyyah
a. Sumber-Sumber
Pendapatan NegaraPendapatan
negara diperoleh dinasti Fatimiyyah dari dua sumber: pertama, hasil pajak yang
sangat besar sebagai wujud dari keberhasilan pembangunan di berbagai sektor
ekonomi. Kedua, hasil nonpajak yang merupakan usaha dari dinasti Fatimiyyah
sendiri.Sumber-sumber
pendapatan negara pada zaman Fatimiyyah yang berasal dari pajak antara lain
adalah sebagai berikut:a) al-kharaj
(pajak atas tanah pertanian)b) al-iqta
(pajak atas tanah produktif yang diberikan kepada orang-orang tertentu,
terutama kepada angkatan bersenjata)c) al-Jizyah
(pajak yang dipungut dari ahl az-zimmah)d) zakate) al-Mukus
(pajak atas barang perniagaan, baik impor maupun ekspor)f) al-ahbas
(harta benda yang diwakafkan oleh anggota masyarakat dan berada di dalam
pengelolaan pemerintah)g) al-mawaris
al-hasyriyyah (harta benda orang yang wafat tanpa meninggalkan ahli waris)h) al-amwal
al-masadirah (harta benda orang-orang yang dijatuhi hukuman denda)
Dari
semua sumber tersebut yang terpenting adalah al-kharaj yaitu pajak yang
dipungut dari hasil bumi sesuai dengan luas tanah yang dikelola oleh para
petani dan penggarap lahan pertanian tersebut. Adapun bentuk pemungutan pajak
itu bisa berupa uang, bisa juga berbentuk produk yang dihasilkan dari tanah
tersebut. Besar al-Kharaj yang dipungut tidak selalu sama di dalam setiap
periode, akan tetapi tergantung kepada kebijaksanaan penguasa pada saat itu.
Sumber
pendapatan negara nonpajak yang diusahakan oleh dinasti Fatimiyyah adalah hasil
persewaan hotel-hotel dan toko-toko milik dinasti ini, hasil perdagangan, industri,
dan sektor-sektor perekonomian lainnya yang dimiliki oleh kerajaan.
b. Sektor-Sektor
Ekonomi Yang Dibangun1. Sektor
Pertanian dan PerkebunanDi
dalam pembangunan bidang ekonomi, sektor-sektor terpenting yang mendapat
perhatian dinasti Fatimiyyah adalah pertanian, perkebunan, kerajinan, dan
perdagangan. Dari keempat sektor tersebut, sektor pertanian mendapat perhatian
yang lebih besar dan pembinaan yang lebih serius karena sektor ini merupakan
tulang punggung perekonomian Mesir. Pertanian di Mesir ini sangat bergantung
kepada keadaan air Sungai Nil. Apabila debit air sungai kurang maka lahan
pertanian akan kekeringan dan jika lebih maka lahan tersebut akan kebanjiran.
Maka dari itu, penguasa Fatimiyyah melakukan pemantauan terus-menerus terhadap
perkembangan debit Sungai Nil ini.
Disamping itu juga meningkatkan pengawasan dan pemeliharaan waduk-waduk,
tanggul-tanggul, dan saluran air yang sudah ada.
Dengan
usaha tersebut sektor ini menghasilkan beberapa produk pertanian seperti
gandum, kacang ful, kacang kedelai, adas, bawang putih, bawang merah, jintan,
lobak, semangka, tebu, umbi-umbian, terung, dan kapas. Selain keberhasilan di
sektor pertanian, sektor perkebunan juga menghasilkan berbagai jenis
bua-buahan, di antaranya ialah anggur, tin, apel, pisang, dan korma.
Keberhasilan tersebut juga mendukung peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakatnya.
2. Sektor
KerajinanPembinaan
dan pengembangan sektor kerajinan dilakukan oleh dinasti Fatimiyyah dengan
mendirikan tempat-tempat pengolahan barang kerajinan dan mendorong masyarakat
untuk meningkatkan produksi kerajinan mereka. Barang yang dihasilkan dari
sektor ini ialah kain tenunan, kaca, kristal, tembikar, kapal, kertas, gula,
minyak goreng, dan sabun.
3. Sektor
PerdaganganSelama
masa pemerintahan Fatimiyyah, sektor perdagangan berkembang baik. Dua kota
penting yang menjadi pusat perdagangan adalah Fustath dan Iskandariah. Yang
terbesar diantara keduanya ialah Fustath. Kota ini menjadi kota dagang dan
kerajinan terbesar bukan saja karena merupakan kota tua yang sebelumnya menjadi
ibu kota Mesir, tetapi juga karena letaknya yang strategis yaitu di tepi Sungai
Nil sehingga dapat dijangkau dengan mudah dari berbagai penjuru, baik lewat
darat maupun sungai.
Sebagai
sebuah kota dagang dan kerajinan, Fustath dikunjungi banyak orang yang datang
dari dalam maupun luar negeri. Dengan banyaknya pengunjung yang datang ke
Fustath, ditambah dengan penduduk asli setempat maka kota ini menjadi sangat
ramai.
Jalur
perdagangan terpenting dalam negeri adalah Sungai Nil karena transportasi
sungai ketika itu lebih banyak digunakan masyarakat dibanding transportasi
darat. Dermaga Fustath merupakan sebuah dermaga perdagangan yang amat penting.
Berbagai jenis kapal yang datang dari berbagai penjuru berlabuh di dermaga
tersebut.
Sekalipun
jalur sungai banyak digunakan, bukan berarti jalur darat diabaikan. Pemerintah
membangun dan memperbaiki jalan-jalan untuk menghubungkan satu daerah dengan
daerah lainnya. Dengan demikian, jalur perdagabgan lewat darat juga berjalan
dengan lancar.
Perdagangan
luar negeri juga mendapat perhatian besar dari dinasti Fatimiyyah. Hubungan
dagang dengan berbagai negara dibina dengan baik, seperti India, Italia,
negara-negara di bagian barat Laut Tengah, dan Bizatium. Pedagang-pedagang
asing yang berniaga ke Mesir tidak hanya yang beragama Islam, tetapi banyak
pula yang nonmuslim.
3. Ilmu Pengetahuan pada masa dinasti Fatimiyyah
Di
samping kemajuan di bidang politik dan ekonomi, dinasti Fatimiyyah juga
memperoleh kemajuan besar di bidang pembinaan dan pengembangan ilmu. Kemajuan
tersebut dapat dilihat antara lain dari beberapa factor. Pertama, banyaknya
ulama dan ilmuwan yang lahir dan populer di zaman tersebut. Kedua, banyaknya
karya ilmiah yang dihasilkan. Ketiga, berkembangnya berbagai cabang ilmu dan
Kairo tumbuh menjadi sebuah kota intelektual dan ilmu pengetahuan. Keempat
tersedianya koleksi buku yang sangat banyak di perpustakaan. Kelima, perhatian
besar beberapa khalifah Fatimiyyah terhadap pembinaan dan pengembangan ilmu.
Dengan
banyaknya ulama dan ilmuwan yang lahir di masa pemerintahan Fatimiyyah maka
berbagai cabang ilmu pun berkembang pesat. Halakah pengajian besar dimana-mana,
baik di mesjid-mesjid maupun rumah-rumah. Pusat-pusat pengkajian dan
pengembangan ilmu tersebar di berbaagai kota seperti di Kairo, Fustat,
Iskandariyyah, Tinnis, Aswan dan Qus. Di antara kota-kota tersebut, Kairo
merupakan kota yang paling ramai dengan berbagai kegiatan keilmuan sehingga
kota yang didirikan oleh jauhar as-Saqili ini tidak hanya menjadi ibu kota dan pusat
pemerintahan Fatimiyyah, tetapi juga tumbuh menjadi pusat intelektual dan ilmu
pengetahuan yang baru di dunia Islam. Di dalam perkembangan selanjutnya Kairo
menjadi salah satu pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang besar di samping
Bagdad, Damaskus, dan Kordova.
PENUTUP
Kesimpulan
Di
bidang politik, dinasti Fatimiyyah berhasil dalam beberapa hal di antaranya: pertama,
memperluas wilayah kekuasaan sehingga, di puncak kejayaannya, wilayah kekuasaan
dinasti sangat luas, meliputi tiga benua: sebagian Afrika, sebagian Asia, dan
sebagian Eropa. Kedua, menguasai Mesir dan memindahkan pusat pemerintahan dari
al-Magrib al-Adna (Tunisia) ke Mesir (362 H/973 M). Ketiga, mempertahankan
kekuasaan dalam kurun waktu yang sangat lama, lebih dari 250 tahun (297-567
H/909-1171 M).
Di
bidang ekonomi dinasti Fatimiyyah berhasil membangun perekonomian yang kuat dan
tangguh. Para penguasa dinasti ini cukup piawai memilih sektor sektor
perekonomian yang menjadi prioritas pembangunan di negaranya. Sektor-sektor
terpenting yang dibangun adalah pertanian, perkebunan, kerajinan, dan
perdagangan. Dari keempat sektor tersebut, pertanian dijadikan sebagai
prioritas utama. Strategi ini berhasil baik. Perekonomian dinasti Fatimiyyah
berkembang pesat. Pada masa jayanya, pendapatan negara melimpah ruah dan rakyat
hidup dalam makmur dan sejahtera.
Di
bidang ilmu pengetahuan, dinasti Fatimiyyah berhasil membina dan mengembangkan
ilmu sehingga Kairo tadak saja menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat
pengembangan ilmu. Universitas Al-Azhar yang dibangun dan dibina oleh dinasti
ini menjadi universitas terkemuka dan menghasilkan banyak ulama dan ilmuwan terkenal.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan bukan hanya ilmu-ilmu naqliah, tetapi juga
ilmu-ilmu aqliah sehingga kedua ilmu ini tumbuh subur secara bersamaan.
Beberapa penguasa Fatimiyyah juga memberikan perhatian yang sangat besar kepada
pembinaan dan pengembangan ilmu tersebut.
0 komentar:
Post a Comment